Monday, March 28, 2005

Unit-Linked, Produk Masa Depan

Bisnis Indonesia 14 Maret 2004

JAKARTA (Bisnis): Dalam dua tahun terakhir pasar asuransi di Indonesia diramaikan dengan produk baru yang lazim disebut unit linked product. Di pasar asuransi internasional produk ini sudah cukup lama berkembang, tetapi di Indonesia masih baru.
Baru beberapa perusahaan-sebagian besar perusahaan patungan-yang meluncurkan produk semacam ini, seperti Prudential Bancbali, Zurich, Manulife Indonesia, Binadaya Nusaindah, dan menurut direksinya dalam waktu dekat Allianz Life dan Bumiputera juga akan meluncurkan produk serupa.

Menurut informasi yang dihimpun Bisnis, kendati masih relatif baru, produk ini sudah menjadi 'mesin uang' bagi pengelolanya. Itu sebabnya banyak perusahaan yang mencoba mulai masuk pasar ini.

Komposisi produk unit linked sebenarnya tak beda jauh dengan produk gabungan (endowment) konvensional, yakni gabungan antara penutupan risiko dengan tabungan. Hanya saja, dalam produk endowment biasa faktor tabungan biasanya berbunga tetap yang dijamin oleh perusahaan asuransi. Artinya, faktor risiko fluktuasi bunga pasar ada di pundak perusahaan asuransi.

Sedangkan unit linked adalah gabungan antara cover risiko (proteksi) dengan investasi yang dikaitkan dengan satu atau sejumlah instrumen tertentu seperti deposito, obligasi, saham, atau gabungan dari instrumen itu.

Dengan demikian pemegang polis berkesempatan mendapatkan hasil investasi yang lebih tinggi dibanding hasil investasi produk konvensional. Namun pada saat yang sama pemegang polis juga menghadapi risiko jatuhnya return-misalnya karena turunnya suku bunga, indeks atau nilai aktiva bersih reksadana yang jadi cantolan.

Dari sisi ini bagi perusahaan asuransi hal ini tentu lebih menguntungkan, karena dia tidak menghadapi risiko apapun. Sebab faktor tabungan yang dikaitkan dengan instrumen-instrumen itu praktis menjadi fee based income bagi perusahaan asuransi. Padahal teta berpeluang mendapatkan hasil underwriting-bisnis utama perusahaan asuransi.

Pesaing DPLK

Cukup beralasan kalau produk ini menjadi mesin uang baru bagi perusahaan asuransi. Pada tahap awal, produk endowment ditawarkan karena calon nasabah-terutama di Indonesia-enggan membeli polis risiko murni. Bagi sebagian besar masyarakat, polis risiko murni berarti buang duit, khususnya kalau tidak terjadi peril. Dengan produk endowment, nasabah merasa uangnya kembali kalau pun tidak terjadi peril.

Namun dalam perjalanan waktu produk endowment konvensional juga jadi tidak terlalu menarik, khususnya ketika ada pengalaman suku bunga di pasar melambung sampai di atas 50% beberapa waktu lalu. Ingat, waktu itu bahkan banyak nasabah yang menjual polisnya untuk ditempatkan pada instrumen deposito atau tabungan [di samping alasan nilai tukar dolar melambung].

Itu terjadi karena suku bunga yang dijamin dalam polis umumnya sangat rendah. Bahkan dalam Keputusan Menteri Keuangan [KMK] No. 481 tahun 1999 bunga yang diperkenankan maksimal hanya 9% saja, agar perusahaan tidak kesulitan mengelola cadangan teknisnya.

Rush penebusan polis karena alasan ini pasti tidak terjadi untuk produk unit linked karena return produk ini lebih tinggi dibanding produk endowment konvensional. Sebagai contoh produk unit linked rupiah Prudential BancBali berkembang 13,3% sejak 23 April 1999 [saat produk itu diluncurkan] sampai 7 Maret 2000. Kalau dihitung selama setahun, berarti return-nya mencapai 15,4%-satu angka yang cukup menarik karena di dalamnya masih ada faktor cover risiko.

Karena itu tidak mengherankan kalau instrumen ini di barat cukup populer dan di Indonesia juga akan merebut popularitas tinggi. Bahkan produk investasi seperti dana pensiun iuran pasti yang ditawarkan DPLK [dana pensiun lembaga keuangan] pun bisa kalah pamor dibanding unit linked.

Sebab, sama dengan DPLK, unit linked memberi peluang pada nasabah untuk mendapatkan return yang lebih tinggi dibanding bunga pasar. Namun berbeda dengan DPLK, produk ini mempunyai unsur proteksi.

Kalau nasabah ingin mengelola dana pensiunnya melalui unit linked masih ada keuntungan lain yang bisa diraih: nasabah bebas menentukan kapan akan mengambil manfaat pensiun, nasabah juga bebas membeli atau tidak membeli produk anuitas [bayar sekali tarik dana bulanan dalam bentuk manfaat pensiun], dan kalau nasabah mau membeli anuitas, sama sekali tak ada batasan nilai pembelian.

Hal ini akan menjadi daya tarik tersendiri mengingat kalau membeli DPLK orang 'dipaksa' untuk membeli anuitas menjelang masa pensiun, khususnya manakala hasil akumulasi dananya cukup besar (di atas Rp 35 juta). Padahal mungkin saja orang ingin menggunakan dananya untuk kepentingan selain untuk manfaat bulanannya.

Sektor lain

Namun apakah sektor ini akan mampu menjadi pendongkrak industri asuransi jiwa nasional? Jawabannya tergantung pada para pelaku industri sendiri. Menurut Direktur Teknik AJB Bumiputera 1912 Maryoso, industri ini amat bergantung pada teknologi, khususnya teknologi informasi. Sebab, misalnya, perhitungan nilai saja mutlak membutuhkan teknologi ini.

Masalahnya, menurut Maryoso, selama ini industri asuransi jiwa lokal khususnya, memang mungkin untuk tidak buru-buru investasi di sektor teknologi tinggi. Ini berbeda dengan sektor perbankan. Industri asuransi jiwa, kalau mau bahkan bisa bekerja dengan teknologi paling manual sekalipun.

Itu sebabnya, kendati cukup menarik, unit linked umumnya lebih banyak digarap asuransi patungan. Sejauh ini perusahaan lokal yang menggarap produk ini baru Asuransi Jiwa Binadaya Nusaindah (AJBN).

Sementara itu pengelola instrumen lain seperti deposito, saham, obligasi atau reksadana tampaknya belum persis melirik instrumen ini. Padahal, kalau kalangan sekuritas dan perbankan mau, kerjasama dengan perusahaan asuransi jiwa akan cukup menarik. Sebab bagaimanapun juga asuransi jiwa-di Indonesia khususnya-sudah punya tradisi pemasaran yang lebih agresif ketimbang sekuritas sendiri maupun perbankan. * Her Suharyanto

Karena Bersifat Sosial, Jamsostek Harus Monopolistik

Swastanisasi BUMN dan demonopolisasi saat ini seolah menjadi desakan moral, politis, dan ekonomis yang harus dilakukan pemerintah. Bahkan program asuransi sosial tenaga kerja oleh PT Jamsostek pun akan diswastakan dan didemonopoli. Adilkah rancangan itu?

JAKARTA (Bisnis): Menaker Fahmi Idris mengumumkan sebulan lalu bahwa monopoli asuransi sosial tenaga kerja oleh PT Jamsostek akan diakhiri. Pernyataan itu mendapat tanggapan beragam dan menjadi diskusi cukup hangat melalui media massa.

Untuk kembali pada diskusi itu, kiranya perlu dirunut kembali alur diskusinya. Diskusi [catatan pertama], diawali dengan pernyataan Menaker yang akan menghentikan monopoli PT Jamsostek dalam menangani asuransi sosial tenaga kerja. Alasannya, monopoli tidak sesuai dengan semangat reformasi dan "dalam pendekatan monolitik, monopoli itu tidak absah lagi." [Bisnis 9 Juni]

Berita mengenai hal itu [kedua] masih dilengkapi oleh penjelasan Ketua DPP FSPSI Wilhelmus Bhoka bahwa PT Jamsostek belum memberikan kesejahteraan yang optimal kepada para pesertanya [pekerja]. "Padahal tujuan semula FSPSI mendirikan PT Jamsostek untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja," kata Bhoka.

Masih menurut Wilhelmus [ketiga], yang lebih parah lagi PT Jamsostek bahkan menyalurkan US$3,1 miliar untuk membiayai pembuatan UU-No.25/1997 tentang Ketenagakerjaan. Sedangkan seorang pengurus FSPSI lainnya As'ad [keempat], pengelolaan PT Jamostek tidak transparan. FSPSI kecewa karena direktur PT Jamsostek berpendapat dana yang dimiliki BUMN itu bukan milik pekerja, tetapi milik pemegang saham.

Demonopoli program
Melihat diskusi yang berkembang, kiranya perlu diurai kembali persoalannya, agar pada kemudian hari tidak terjadi salah kaprah dan hantam-kromo terhadap setiap kata monopoli.

Menyangkut persoalan pertama, kiranya perlu diklarifikasi apa yang akan didemonopoli dan diswastanisasi: Programnya [program asuransi sosial tenaga kerja] atau perusahaannya [kepemilikan PT Jamsostek].

Kalau jawabannya yang pertama bahwa pemerintah akan menswastakan dan mendemonopoli program asuransi sosial tenaga kerja, persoalannya akan jadi sangat krusial. Di mana-mana asuransi sosial adalah tanggung jawab pemerintah, dan tidak pernah diserahkan pada pihak swasta.

Monopoli pemerintah [harus] dilakukan karena faktor sosialnya, karena asuransi ini sepenuhnya bersifat sosial dan tidak pernah mendatangkan untung.

Dalam konteks itu perlu kiranya dipahami, apa itu asuransi sosial. Asuransi sosial adalah subsistem dari sistem jaminan sosial [social security system].
Sistem jaminan sosial sendiri merupakan bagian dari tanggung jawab pemerintah untuk mengatasi masalah ketidakamanan ekonomi: pendapatan rendah, pendapatan terhenti (misalnya PHK), lonjakan pengeluaran, kematian kepala keluarga secara mendadak dll.

Dalam sistem ini, pemerintah bisa menjalankan berbagai program, mulai dari asuransi sosial, bantuan sosial, program pensiun masyarakat dll. Sedangkan asuransi sosial adalah satu mekanisme pengalihan risiko masyarakat kepada pemerintah berdasarkan ketentuan perundangan.

Jelasnya, pemerintah atau lembaga yang ditunjuk berkewajiban memberikan dana [klaim] dalam batas minimal, manakala anggota masyarakat menghadapi risiko yang dipertanggungkan menurut undang-undang [misalnya cacat tetap, meninggal, PHK].
Program asuransi sosial-kita sempitkan saja ke asuransi sosial tenaga kerja-di mana pun tidak pernah bertujuan untuk memberikan kesejahteraan yang optimal untuk para pesertanya [lihat butir kedua di atas]. Asuransi sosial justru hanya memberikan jaminan kesejahteraan minimal.

Pemikiran ini bertolak dari kenyataan bahwa kalau sakit orang berhak berobat. Kalau meninggal, mereka yang ditinggal berhak untuk mendapatkan kehidupan yang layak.

Karena banyak anggota masyarakat yang bahkan tidak bisa memenuhi hak minimalnya [primer] tadi, maka pemerintah harus mengambil alih.

Negara-dalam kapasitasnya sebagai penyelenggara kehidupan bersama-bertanggungjawab agar seorang yang menderita sakit, minimal bisa opname [tapi pemerintah tidak perlu menjamin bahwa opnamenya harus di RS Mount Elizabeth Singapura]. Pemerintah harus menjamin pekerja yang mendapat cacat tetap masih bisa mendapat dana untuk memenuhi kebutuhan minimal pekerja itu sendiri dan keluarganya [tapi tidak harus memberikan santunan katakan US$100.000].
Pemerintah harus menjamin kalau pekerja dipecat, minimal keluarganya tidak kelaparan [tanpa harus menikmati kelimpahan].

Itulah tugas asuransi sosial tenaga kerja. Pada tahap ideal, pengelola asuransi ini-bisa dalam bentuk badan atau yayasan, tetapi bukan PT Persero yang berorientasi pada laba-harus punya satu pool dana yang cukup [funded] untuk membiayai setiap klaim yang diajukan oleh pekerja.

Pool dana ini dikumpulkan melalui iuran wajib [premi] para peserta program yakni para pekerja [dalam prakteknya bisa saja dibayar oleh pemberi kerja].
Yang perlu diingat adalah bahwa monopoli ini hanya untuk sisi asuransi sosialnya. Kalangan swasta tetap diizinkan-termasuk di Indonesia-berbisnis di sektor asuransi [individual] tenaga kerja. Kendati statusnya asuransi individual, dalam prakteknya banyak perusahaan yang mengasuransikan para pekerjanya secara berkelompok-dan ini sah-dengan variasi manfaat yang amat luas.

Kepesertaan wajib
Mengapa kepesertaan program asuransi sosial tenaga kerja bersifat wajib? Soalnya kalau sukarela para buruh pasti akan cenderung memilih tidak membeli asuransi. Sementara itu kalau tidak wajib, sulit bagi pengelola program untuk mendapatkan jumlah dana minimal yang dibutuhkan.

Dalam prakteknya-kalau klaim benar dibayar wajar-jarang ada pengelola asuransi sosial yang sepenuhnya funded [dana yang ada cukup untuk membiayai seluruh kewajiban pada klaim pekerja] sehingga yang terjadi pemerintah harus nombok [memberi subsidi].

Kalau pernah terjadi besarnya dana sudah melebihi kebutuhan [over-funded] sudah saatnya pemerintah memperbaiki manfaat atau bentuk jaminan sosial yang diberikan pada masyarakat. Misalnya, jaminan pengobatan standar, misalnya opname RS pemerintah kelas tiga dengan dokter umum dan obat generik, ditambah dengan manfaat baru layanan spesialis.
Dalam kondisi normal, penyelenggara program tiap tahun harus menaikkan tingkat manfaat, misalnya karena faktor inflasi. Klaim kematian Rp 1.000.000 tahun 1990, misalnya, sudah jauh sekali daya belinya ketimbang tahun ini.

Karena itulah-sekali lagi kalau wajar-tidak ada perusahaan swasta yang bersedia menjadi pengelola asuransi sosial, sehingga pemerintahlah yang harus menangani bisnis ini secara monopolistik.

Sifat asuransi sosial ini harus monopolistik, sebab kalau tidak akan menjadi ajang komersialisasi. Dana yang terkumpul dari para pekerja tidak lagi disalurkan untuk kepentingan sosial peserta program, tetapi untuk maksimalisi keuntungan penyelenggara program.

Dalam pandangan seperti ini, demonopoli program asuransi sosial tenaga kerja dari PT Persero Jamsostek jadi tidak masuk akal. Tapi sebelum bicara soal demonopoli, bicara tentang PT Persero Jamsostek sebagai pengelola asuransi sosial pun sebenarnya absurd.

Seperti dibahas diatas, pengelolaan asuransi sosial oleh badan usaha dalam bentuk PT Persero-yang berorientasi laba-secara kategoris salah. Kesalahannya adalah menyerahkan tugas dan tanggung jawab sosial pada entitas bisnis yang profit oriented.

Direktur PT Jamsostek Ackmal Husin mengakui bahwa setiap tahun BUMN itu menyetor sekitar 40% dari labanya kepada pemerintah sebagai dividen.

Karena PT Jamsostek adalah entitas bisnis maka As'ad [catatan empat] tidak bisa tidak harus menerima pernyataan bahwa dana Jamsostek sekarang bukan lagi milik pekerja, tetapi milik pemegang saham.

Dalam bisnis asuransi, premi yang masuk adalah pendapatan. Tapi kalau asuransi sosial dikelola oleh badan nirlaba, iuran karyawan adalah milik karyawan [kendati tidak secara individual] yang masih berpotensi mendapat tambahan subsidi.

Kalau pengelolaan program asuransi tenaga kerja oleh PT Jamsostek saja sudah absurd, apakah ada yang masih tega untuk melepaskan pengelolaan program itu pada perusahaan asuransi swasta?

Kalau pun ada yang tega melakukan itu, masih ada pertanyaan perusahaan mana yang akan diizinkan mengelola program ini. Pertanyaan ini relevan mengingat program asuransi sosial ini menyangkut dana masyarakat dalam jumlah besar. Kalau 30 juta karyawan masing-masing mengiur Rp 1.000 per bulan, artinya ada akumulasi premi Rp 360 miliar per tahun. Apa yang bisa dilakukan oleh perusahaan asuransi yang saat ini modal minimalnya cuma dua juta menyangkut dana sebesar itu?

Kalau hal ini diperhatikan, paling yang bisa dilakukan adalah membatasi perusahaan yang boleh ikut mengelola. Kalau begitu, perusahaan asuransi yang bisa 'ikut main' tinggal Jiwasraya, Bumiputra dan Lippo Jiwa [dengan pertimbangan tingkat modal]. Dan kalau ini ditempuh, yang terjadi tidak lain dari sekadar menggeser dari monopoli menjadi oligopoli.

Swastanisasi Jamsostek
Kalau begitu bagaimana andaikata yang didemonopoli dan diswastakan perusahaannya? Gelombang yang sekarang sedang menjadi kredo memang swastanisasi dalam arti mengubah kepemilikan dari pemerintah menjadi swasta.

Swastanisasi model ini banyak dipercaya akan meningkatkan efisiensi. Namun untuk diskusi kita mengenai asuransi sosial soalnya tetap sama. Swastanisasi kepemilikian justru membuat persoalan di atas semakin kritis: menyerahkan tanggung jawab dan urusan sosial pada struktur bisnis penuh.

Swastanisasi pada umumnya dinilai baik karena langkah itu akan meningkatkan efisiensi. Persoalan sebaliknya, apakah efisiensi hanya bisa dilakukan dengan swastanisasi? Pertanyaan ini penting karena memang ada yang harus dibela, yakni kepentingan para pekerja yang berpenghasilan rendah. Untuk kasus PT Jamsostek, tampaknya ada berbagai hal yang tampak di depan mata yang semestinya 'mudah' dibereskan demi efisiensi dan demi hak pekerja lapis paling bawah.

Kiranya tidak terlambat untuk mengubah status PT Jamsostek menjadi yayasan atau badan hukum lain yang tidak profit oriented, kendati untuk itu harus ada perubahan undang-undang.

Tampaknya inilah satu-satunya pilihan kalau semua pihak menginginkan sistem asuransi sosial tenaga kerja yang benar.

Memang ada kemungkinan melakukan berbagai bentuk efisiensi yang lain: membebaskan PT Jamsostek dari status sebagai sapi perah [lihat kasus pembiayaan UU Ketenagakerjaan] dan mencoba berbisnis dengan baik.

Sangat tidak masuk akal PT Jamsostek tidak untung besar, karena tanpa tenaga marketing uang premi mengalir lancar karena kepesertaannya wajib.

Namun diskusi yang terakhir ini hanya sah manakala kita mengakui dan memperlakukan PT Jamsostek sebagai entitas bisnis. Padahal PT Jamostek sekali lagi dan sekali lagi, tidak bisa diperlakukan sebagai entitas bisnis. PT Jamsostek sebagai pengelola asuransi sosial tenaga kerja mesti diubah menjadi entitas sosial. Atau, kalau PT Jamsostek ingin dipertahankan untuk melakukan bisnis asuransi tenaga kerja, lepaskan urusan asuransi sosialnya dan biarkan dia berbisnis asuransi tenaga kerja di luar asuransi asuransi sosial.
Her Suharyanto